Penanganan Daerah Rawan Pangan untuk Menuju Kawasan
Tangguh Pangan
Pangan merupakan komoditas penting bagi bangsa Indonesia, mengingat pangan adalah kebutuhan
dasar manusia yang harus terpenuhi.
Pemenuhan tentang kebutuhan pangan tersebut juga diatur dalam Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang
pangan
yang menegaskan bahwa pemerintah
dan masyarakat secara bersama-sama dituntut untuk
memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia. Kebutuhan konsumsi semakin meningkat
dari tahun ke tahun mengingat pertumbuhan populasi yang ada di Indonesia,
sedangkat kondisi lahan tanam dan sumber air bersih hampir di semua daerah
semakin menurun. Kondisi tersebut dapat menyebabkan ketahanan pangan menurun
dan memicu terjadinya kerawanan pangan pada daerah tertentu.
Kerawanan pangan
merupakan suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami oleh daerah-daerah
tertentu, untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan
kesehatan masyarakat. Kerawanan pangan dapat terjadi pada waktu tertentu dan
berulang (Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Tidak cukupnya kebutuhan pangan
tersebut dapat disebabkan oleh kondisi lahan yang tidak produktif, proses
distribusi, dan akses dalam mendapatkan pangan yang sulit. Kerawanan pangan
akan berdampak kurangnya gizi pada masyarakat baik anak-anak maupun orang
dewasa.
Tercatat 1.918 anak mengalami gizi buruk selama lima
bulan pertama tahun 2015, 11 di antaranya meninggal dunia, seperti terungkap
dalam data Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (Bonasir, 2015). Angka
tersebut memang menurun dalam lima tahun ini, dari sekitar 5.000 anak menjadi
1.918 anak, akan tetapi angka tersebut masih terbilang besar apalagi diperparah
karena adanya kekeringan panjang yang membuat mereka mengalami gagal panen. Musim
kemarau yang berlangsung lebih dari 6 bulan membuat lahan-lahan dan sumur
mengering sehingga sektor pertanian hanya bias diandalkan pada musim penghujan.
Berbagai solusi
diperlukan untuk menangi daerah rawan pangan tersebut agar menjadi suatu daerah
tangguh pangan, atau minimal dapat mencukupi kebutuhan pokok pangannya sendiri.
Beberapa hal dapat dilakukan, diantaranya adalah menyeimbangkan antara pertanian
dan peternakan. Mata pencaharian sebagai petani di hampir semua derah rawan
pangan akan mengalami kegagalan pada musim kemarau panjang, oleh karena itu
sektor peternakan juga perlu dikuatkan untuk mengantisipasi hal tersebut. Selain
itu, pembuatan lumbung penyimpanan hasil panen serta embung penampung air hujan
juga sangat membantu,. Pada hal ini sinergi kebijakan pemerintah dan pelaku usaha
sangat diperlukan.
Selain itu, dalam
menciptakan daerah tangguh pangan dapat dilakukan pembuatan ‘One village one product’ guna
untuk mengembangkan komoditi unggulan sehingga ekonomi meningkat. Seperti
didaerah pesisir Pacitan yang mulai terkenal dengan abon ikan atau kawasan
Dieng dengan manisan carica, dll. Didaerah timur seperti NTT, dalam menciptakan
‘One village one product’ dapat dilakukan pelatihan pengolahan hasil panen
untuk memperpanjang umur simpan saat panen raya terjadi. Misalkan untuk
komoditi jagung atau sorgum, selain dijual atau disimpan dilumbung, jagung
dapat diolah menjadi tepung dan sorgum dapat diolah menjadi makanan brondong
yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi.
Penganekaragaman konsumsi
pangan juga diperlukan, guna mengubah mindset
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan. Kemudian yang terakir adalah kombinasi intervensi
pemerintah dan mekanisme pasar dalam pengendalian penawaran dan permintaan
pangan, sehingga harga dipasaran relative stabil, ekonomi masyarakat tidak
terganggu, kebutuhan pangan tercukupi dan terciptalah daerah tangguh pangan.
Sumber :
Dewan
Ketahanan Pangan. 2006. Kinerja Sektor
Pertanian Tahun 200-2003. Jakarta
Bonasir
Rohmatin. 2015. Dalam http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015
/07/150720_indonesia_ntt_pangan, diakses pada tanggal 29 Agustus 2015
Comments
Post a Comment